Rabu, 05 Januari 2011

[KISAH] Belajar Ikhlas Dari Ali Zainal Abidin Rahimahullah

By. Rahman Hakim
Hampir-hampir saja kata ‘tidak’ tidak pernah keluar dari mulutnya…
Kalaulah bukan karena tasyahhud, niscaya ucapannya ‘Ya’ Semuanya…
(Farozdaq, salah satu penyair legendaris Arab)


       Hari itu, mendung kesedihan menyelimuti kota di mana Ali bin Husein tinggal. Penduduk kota kehilangan salah satu manusia shalih yang pernah hidup di dunia ini. Beliau adalah salah seorang tabi’in panutan dizamannya. Selain karena garis keturunannya yang masih memiliki hubungan darah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau juga tersohor akan keluhuran budi pekertinya yang begitu harum nan semerbak, siap memikat siapa saja yang pernah mengenalnya. Beliau adalah sosok yang telah mendapat tempaan khusus dari lingkungannya yang suci. Sosok yang membalas keburukan tidak dengan keburukan tapi dengan kebaikan. Sosok yang apabila orang melihatnya niscaya ia akan berkata dalam hatinya, “Inilah keturunan Nabi yang sesungguhnya!”. Orang itu tidak lain adalah Ali bin Husein atau yang lebih dikenal sebagai Ali Zainal Abidin.
      Sebagaimana lazimnya seorang muslim ketika meninggal dunia, maka orang-orang muslim lainnya segera mengurus jenazahnya. Jasad mulia beliau diletakkan di tempat khusus untuk dimandikan. Orang-orang yang bertugas memandikan jenazah beliau pun telah siap untuk melaksanakan kewajibannya sebagai umat muslim jika ada saudara seagamanya yang meninggalkan dunia ini.
      Tatkala jenazah beliau diletakkan di tempat khusus untuk dimandikan, dan orang-orang bersiap untuk memandikannya, terjadilah kehebohan yang luar biasa,
          “Apa ini…!?” Kata mereka secara serempak.
        Secara mengejutkan mata para petugas yang akan memandikannya terbelalak kaget melihat warna hitam di punggung Ali Zainal Abidin. Sungguh hal yang tidak lazim sekali. Pertanda apakah ini? Apakah bekas hitam yang mereka temukan di punggung beliau mengisyaratkan bahwa beliau wafat dalam keadaan dimurkai oleh Allah, sebagaimana yang banyak dikira oleh masyarakat awam? Tapi Ah.. mana mungkin kalau ini yang terjadi kepada orang seperti beliau. Lantas, kenapa punggung beliau berwarna aneh seperti itu…
======================================================== Warning! Anda melakukan lompatan untuk menuju pembahasan yang lain tanpa ada sambungan paragraph yang relevan!
      Ternyata, tatkala malam telah menyelimuti bumi, kala mata manusia telah hanyut dalam tidurnya, ada seseorang yang selalu menyusuri jalan di kota Madinah. Punggungnya yang lemah ia paksakan untuk mengangkut beban berat berupa karung yang berisi bahan makanan. Secara diam-diam sosok misterius itu meletakkan bungkusan berisi bahan makanan di depan rumah penduduk yang ia anggap sebagai orang miskin namun ia menjaga dirinya dari menengadahkan tangan kepada orang lain. Hal ini berlangsung terus-menerus tanpa ada seorang pun yang mengetahui siapa pelakunya. Dan banyak sekali orang-orang miskin yang terbantu oleh perbuatan mulia sosok misterius ini.
       Hingga suatu ketika. Tersiar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Ali Zainal Abidin, meninggal dunia, maka bahan makanan yang secara misterius selalu ada di depan rumah mereka kini tidak pernah muncul lagi. Ketika para petugas yang akan memandikan jenazah beliau keheranan melihat bekas hitam di punggungnya, sadarlah penduduk kota siapa sesunggguhnya pahlawan misterius yang selalu memberikan orang-orang miskin bantuan bahan pangan di malam hari secara diam-diam. Ternyata warna hitam di punggung Ali Zainal Abidin disebabkan karena saking seringnya beliau membawa karung di punggungnya lalu membawanya mengelilingi kota setiap malam untuk membagi-bagikan bahan makanan kepada orang yang membutuhkan. Beban berat inilah yang akhirnya membekas di punggung beliau. Kini, masyarakat Madinah kehilangan sosok itu. Sosok yang telah memberikan bantuan tanpa pamrih kepada banyak keluarga di kota Madinah. Sosok yang mengamalkan ajaran kakeknya yang mengajarkan; apabila tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai tahu…
Sekilas Biografi Beliau
Ali bin Husein atau yang lebih dikenal Ali Zainal Abidin adalah salah seorang manusia shalih yang hidup di zaman tabi’in. Ia lahir di Madinah dan merupakan anak dari al Husein putra dari pasangan Fatimah az-Zahro dan Ali bin Abi Thalib. Beliau memiliki tempat yang istimewa di hati masyarakat kala itu karena keluhuran akhlak dan budi pekertinya yang sangat luhur serta garis keturunannya yang mulia.
Renungan
1) Dalam kisah di atas, bisa kita petik pelajaran berharga dari para ulama’ salaf sebagaimana usaha keras mereka dalam beramal shalih semata-mata hanya untuk mencari ridha ilahi. Mereka sangat takut apabila amal shalih yang mereka lakukan dicampakkan oleh Allah di hari kiamat kelak hanya gara-gara niat dan tujuan yang tidak lurus. Hal ini perlu direnungi kaum muslimin saat ini apabila ingin beramal. Jika menyumbang pembangunan suatu masjid misalnya, tidak perlu menancapkan papan bertuliskan “Masjid ini dibangun atas sumbangan bapak Haji Fulan…” atau yang sejenisnya.
2) Sedekah secara sirriyah atau diam-diam lebih baik diamalkan karena dapat menghindarkan diri dari penyakit hati seperti perasaan riya’ dan ujub. Adapun sedekah secara terang-terangan juga boleh dilakukan asal niatnya lurus, seperti untuk memotivasi orang lain agar ikut beramal. Bahkan di dalam ayat al Qur’an, Allah pun memuji orang-orang yang bersedekah secara diam-diam dan terang-terangan yang dilakukan semata-mata hanya untuk mencari ridha-Nya.
3) Dalam kisah di atas juga terdapat pelajaran bagi kaum muslimin jika ada saudara seagamanya yang wafat, bahwa warna hitam di tubuh jenazah bukanlah berarti ia meninggal dalam keadaan dimurkai oleh Allah sebagaimana yang banyak dikira oleh masyarakat awam. Bisa saja hal itu terjadi karena faktor-faktor biologis yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Untuk itu, kita tidak boleh memvonis seseorang meninggal dalam keadaan su’ul khatimah hanya gara-gara ada warna hitam di jasadnya. Bukankah ajaran Islam yang kita anut memerintahkan kita untuk selalu berbaik sangka kepada sesama manusia?

Daftar Pustaka
1.       Dr. Abdurrahman Raf’at Pasya, Shuwar min Hayat at-Tabi’in
2.       www.wikipedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Subscribe via email